Friday, March 11, 2011

Politik Tak Santun Ala Politisi

Oleh : Hans Wijaya | 11-Mar-2011, 01:24:27 WIB
KabarIndonesia - Sebenarnya saya malas menulis tentang politik karena kegaduhan yang terjadi selama ini tidak lebih dari sebuah sandiwara politik dengan pemeran utamanya yang selalu tunggal, politisi Senayan.

Dari hasil obrolan saya di warung kaki lima, pojokan terminal, emperan rumah sakit ataunguping pembicaraan orang di dalam bis, rakyat sudah muak dengan kekisruhan antar elite. Rakyat lebih senang apabila mereka ribut membuat program untuk kemajuan bangsa ini daripada mencari sensasi yang ujung-ujungnya kekuasaan.

Saya juga tak habis pikir, kenapa tema politik selalu menjadi trend utama media massa, khususnya televisi yang setiap hari menampilkan politisi dengan aneka ocehannya yang nggak jelas. Mereka sibuk membangun stigma bahwa diri dan partainyalah yang paling hebat, paling wah, paling pro rakyat dan paling-paling segalanya.

Susilo Bambang Yudhoyono yang didukung oleh 60 persen lebih rakyat Indonesia untuk memimpin negeri ini juga kelihatan lebih senang berpusing ria memikirkan akrobat politisi daripada menjalankan roda pemerintahan secara efektif. Padahal dengan modal dukungan besar dari rakyat, SBY seharusnya tidak terpengaruh dengan tingkah politisi yang hanya mencari sensasi. Bila saja SBY memiliki keberanian lebih, dia seharusnya sudah membubarkan Setgab atau setidaknya mendepak partai politik yang kerjanya mbalelo terus. Bila perlu, ganti semua menteri yang berasal dari partai politik dengan individu professional agar rencana kerja bukan sekedar menjadi catatan belaka.

Saling ancam dan bargaining, inilah politik transaksional yang mengedepankan nilai keseimbangan untuk memuaskan semua pihak. Padahal bila misi dan visi SBY demi kesejahteraan rakyat, maka cara itu seharusnya disingkirkan jauh-jauh. Ketegasan dan membela kepentingan rakyat menjadi nomor satu daripada politik dagang sapi.

Secara gamblang sebenarnya bisa ditebak ke mana arah ancaman Golkar dan PKS. Golkar misalnya, sebagai partai terbesar kedua di parlemen, memiliki ruang yang cukup leluasa untuk melakukan manuver politik dalam mempengaruhi kinerja Presiden. Ruang itu digunakan sebaik-baiknya agar dalam setiap isu reshuffle yang digulirkan, Golkar akan mendapatkan jatah kursi menteri lebih banyak. Jadi tak heran, apabila Golkar bermain dua kaki. Kaki pertama di pemerintahan dan yang satu lagi beroposisi di parlemen.

PKS setali tiga uang. Hanya saja, politik pencitraan PKS lebih kentara karena saat ini PKS haus akan kekuasaan dan kursi lebih banyak lagi, baik di parlemen dan di kabinet pada 2014 nanti. Di luar itu, sikap dua kaki yang diperagakan PKS juga dipengaruhi timbunan kekecewaan kepada SBY saat Setgab menggandeng Golkar dan mendudukkan Taufik Kiemas daripada kader PKS di kursi Ketua MPR, plus menjadikan Aburizal Bakri sebagai Ketua Setgab.

Secara politik, PDIP-lah yang mendapat nilai plus di mata rakyat sebab partai wong cilik itu tetap keukeuh memegang tegus amanat Kongres Bali yang menyatakan partai pimpinan Megawati itu tetap berada di jalur oposisi. PDIP adalah satu-satunya partai politik yang sampai saat ini masih konsen di jalurnya, sedangkan Gerindra hampir terhanyut dengan buaian Demokrat yang menawari kursi menteri apabila SBY jadi mendepak Golkar atau PKS.

Kunci sukses permainan dua kaki yang diperankan Golkar dan PKS tak lepas dari sikap SBY yang plintat plintut. Kelemahan ini menjadi pijakan utama kenapa mereka selalu berbeda pandangan dengan anggota koalisi lainnya. Jika SBY berani bersikap tegas, saya yakin Golkar dan PKS akan berpikir dua kali memperagakan politik muka dua itu.

Seandainya isu tentang mafia pajak itu murni untuk kepentingan terciptanya pemerintahaan yang bersih, maka pilihan keluar dari koalisi merupakan pilihan terhormat yang bisa dilakukan Golkar dan PKS. Inilah drama politik yang selalu disuguhkan dengan tema berbeda tetapi tujuannya sama.


Masa Depan Bangsa

Bagaimana nasib koalisi selanjutnya setelah SBY batal mendepak Golkar dan PKS atau mengurangi jatah menteri dua parpol itu? Dapat dipastikan, keberadaan dua parpol itu akan tetap berada di dalam gerbong koalisi sampai 2014 nanti. Hanya saja, kenakalan Golkar dan PKS nampaknya tidak akan cepat berakhir.

Hal itu dikarenakan tingginya nilai kompromi yang dijalankan SBY, khususnya dalam transaksi jatah menteri. Seandainya SBY jadi mereshuffle kabinet pun, transaksi penjatahan kursi kabinet akan dinomorsatukan sampai keinginan puncak kedua partai itu terpenuhi. Sedangkan koalisi di parlemen, tetap tidak akan bias berjalan efektif karena sikap kedua partai itu tidak bias dipegang.

Seyogyanya, SBY mau bersikap lebih tegas lagi terhadap partai yang selalu bertingkah, agar roda pemerintahan tidak terganggu, apalagi sisa masa kerja hanya tiga tahun lagi yang mustahil bisa membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik.

Soal isu impeachment yang gemar diobral partai politik, sungguh sesuatu hal yang mustahil terjadi karena pola transaksional akan terus bersemayam dalam benak partai politik sebab isu pemakzulan akan terus dipolitisasi sebagai bahan bargaining kekuasaan. Jika pola itu tetap berlangsung, maka yang ditumbalkan adalah kinerja pemerintahan yang tak pernah bisa kunjung beres. Rencana kerja akan terus mendapatkan rintangan. Efeknya, Indonesia akan tetap menjadi Negara dengan segudang cerita tentang kekayaannya tetapi miskin inovasi. Inikah yang kita inginkan? (*)

Penulis Peneliti International Conference of Islamic Scholars (ICIS)

No comments:

Post a Comment