Wednesday, April 10, 2013

Merestrukturisasi Sistem Keuangan Partai Politik (2)


Oleh: Alfonsius Siringoringo

          
Dalam hal pemasukan partai politik, setidaknya hanya terdapat tiga sumber pendanaan, yaitu dari iuran anggota, sumbangan yang sah menurut hukum serta bantuan keuangan dari APBN/APBD. Ketiga sumber pemasukan tersebut, tentu saja masih belum cukup untuk memenuhi segala kebutuhan operasional setiap partai politik.
Seperti halnya APBN/APBD yang jumlahnya sangat terbatas. Bahkan Pramono Anung (Wakil Ketua DPR-RI) menyatakan bahwa, pendanaan partai politik, bila mengandalkan sumbangan APBN hanya akan bertahan untuk dua minggu saja. Selain itu melalui sumbangan, baik perorangan maupun badan usaha yang jumlahnya juga telah dibatasi oleh Undang-Undang.
            Pemasukan terbesar setiap partai politik hanyalah melalui iuran anggota yang tak terbatas jumlahnya. Hal tersebut menimbulkan pernyataan bahwa: “kader partai politik yang menjabat sebagai pejabat politik, baik di lembaga legislatif maupun yudikatif merupakan mesin ATM parpol”. Melihat kondisi tersebut, mengakibatkan partai politik selalu mencari cara dalam berburu dana ilegal.
            Dengan berbagai cara, banyak partai politik yang mencari dana secara sembunyi-sembunyi. Seperti halnya, akan ditemukan para penyumbang yang tidak bersedia menyebutkan besar nilai sumbangan. Ditambah pengurus partai politik tidak peduli dari mana para penyumbang mendapatkan dana, sehingga transparansi pun tidak terjadi. Tidak adanya transparansi dalam sistem keuangan partai politik tersebut mengakibatkan politik transaksional pun akan terus terjadi.
            Berkaca dari hal-hal tersebut, maka tidak salah jika dinyatakan bahwa: “partai politik tidak bisa mencari dana, kecuali korupsi”. Semua fakta tersebut dilatar belakangi untuk mempertahankan dan meningkatkan eksistensi kekuasaan partai politik semata. Untuk mencoba mengurangi atau mungkin menyelesaikan permasalahan tersebut, terdapat beberapa hal yang perlu dicermati dan dilaksanakan.
            Pertama, setiap partai politik harus kembali berkaca dan melihat kembali tujuan dan fungsinya berdasarkan UU No. 2 tahun 2008 tentang Partai Politik. Yang diperlukan adalah implementasi nyata Undang-Undang tersebut dari setiap partai politik.
            Kedua, sumber pendapatan partai politik dari uang negara, APBN/APBD, harus dimanfaatkan bukan untuk dana operasional partai politik, tetapi lebih kepada peningkatan pendidikan politik para kader dan masyarakat.
Ketiga, memperbolehkan partai politik untuk berbisnis. Seperti, dibuatnya Badan Usaha Milik Partai yang tidak boleh berhubungan langsung dengan APBN/APBD dan tidak adanya pembatasan sumbangan. Namun, hal tersebut harus dilakukan secara terbuka dan transparan kepada publik. Selain itu, perlu adanya pelembagaan yang mengedepankan transparansi dan akuntabilitas pendanaan di setiap partai politik. Cara ini diperlukan agar setiap partai politik tidak terikat dan terjebak dalam korupsi.
Dan yang terakhir adalah dibuatnya Undang-Undang yang mengatur tentang Keuangan Partai Politik. Pengaturan keuangan tersebut baik dalam hal pengeluaran, pendapatan serta sanksi hukum. Cara-cara ini dapat diterapkan agar agenda terselubung partai politik untuk menguras keuangan negara dapat dicegah dan dihentikan sehingga partai politik harus berusaha sendiri memperoleh dana halalnya untuk institusionalisasi politik.

Merestrukturisasi Sistem Keuangan Partai Politik (1)


Oleh: Alfonsius Siringoringo

Partai politik merupakan organisasi bersifat nasional dalam memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Namun kenyataannya, partai politik telah melenceng dari tujuan dan fungsinya sebagaimana telah dijelaskan dalam UU No. 2 tahun 2008 (telah direvisi dalam UU No.2 tahun 2011) tentang Partai Politik.    
Puncak kekecewaan masyarakat terhadap partai politik hampir di ujung ubun. Hal ini dibuktikan dengan semakin rendahnya tingkat partisipasi masyarakat dalam pilkada yang telah berlangsung di beberapa daerah. Realita tersebut memperlihatkan bahwa masyarakat sudah jenuh dan semakin tidak mempercayai lagi keberadaan partai politik. Hal ini ditunjukkan ketika masyarakat memilih pemimpin berdasarkan sosok pribadinya, bukan karena partainya yang besar atau kecil.
            Bentuk ketidakpercayaan masyarakat semakin meluas ketika melihat pemberitaan berbagai kasus korupsi yang melibatkan hampir semua partai politik. Mulai dari partai kecil hingga partai besar, partai nasionalis hingga partai agamis, serta kader partai hingga pejabat tinggi partai.
            Hal tersebut terjadi karena rendahnya standar dan kualitas yang dimiliki partai politik, lembeknya pengrekrutan kader, serta akuntabilitas pengelolaan keuangan partai yang belum rapi dan tidak mandiri. Selain itu, partai politik masih sangat bergantung pada elit bermodal besar sehingga menyebabkan adanya korupsi sistematik dari hulu ke hilir.
            Dalam hal pengkaderan partai politik, yang dibutuhkan adalah sistem yang baik dan ketat. Setiap partai politik harus mendidik, membina, mempersiapkan serta menciptakan para kadernya untuk menjadi pemimpin yang memiliki kejujuran dan integritas yang tinggi. Para kader yang memiliki karakter kepemimpinan serta pemikiran-pemikiran yang kreatif dan solutif dalam menjawab permasalahan bangsa, bukan para kader yang hanya populer di kancah pertelevisian.
            Hal ini dapat diwujudkan jika partai politik sungguh-sungguh melaksanakan sistem pengrekrutan dan pendidikan kader yang baik. Sistem tersebut dapat dilakukan mulai dari tingkat daerah hingga tingkat pusat. Setelah diperbaikinya sistem pengkaderan partai di daerah, maka para kader daerah terbaik dapat ditarik ke pusat, seperti contoh: Jokowi, sehingga tidak lagi kader populer yang mengenalkan partainya, tetapi partainya yang bisa memperkenalkan dan menciptakan para kader yang populer.
            Kemudian, banyaknya kasus korupsi yang melibatkan para kader dan petinggi partai politik, mengisyaratkan adanya permasalahan serius dalam hal pendanaan atau sistem keuangan. Sistem keuangan partai politik yang kurang transparan dan terkekang akibat adanya UU No. 2 tahun 2011 tentang Partai Politik yang telah mengatur sumber pemasukan partai, membuat setiap partai harus bekerja keras untuk memenuhi segala kebutuhannya. -----> [2]

Friday, March 29, 2013

Fanatisme, Penyayat Nasionalisme


oleh: Alfonsius Siringoringo

“Entah bagaimana tercapainya ‘persatuan’ itu, entah bagaimana rupanya ‘persatuan’ itu, akan tetapi kapal yang membawa kita keIndonesia – Merdeka itu, ialah ... ‘Kapal Persatuan’ adanya.” (Di bawah bendera revolusi, hlm.2)


Kalimat di atas sepertinya mengingatkan kita terhadap semboyan negeri ini, yaitu Bhineka Tunggal Ika. Namun belakangan ini hanya dapat dikenang sebagai semboyan belaka ketika rakyat sendiri jarang bahkan tidak pernah mengimplementasikannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal tersebut dapat disebabkan salah satunya karena sifat fanatisme rakyat yang masih memiliki cara pandang terkotak-kotak.

Fanatisme dapat dikatakan sebagai sikap atau keyakinan yang terlalu kuat terhadap suatu ajaran, baik itu agama, politik, dan sebagainya. Fanatisme dapat berdampak positif dan berdampak negatif. Dampak positifnya seperti, begitu loyalnya seseorang terhadap apa yang diyakini. Sedangkan dampak negatifnya, dapat menimbulkan perpecahan bahkan pertumpahan darah.

Namun, makna dari dampak positif di atas semakin bergeser ke arah yang negatif. Mengapa? Penafsiran yang salah dari tiap-tiap orang terhadap apa yang diyakininya, kerapkali menimbulkan bencana dan perpecahan yang tidak diinginkan. Oleh sebab itu, dibutuhkan suatu pemahaman dan cara pandang yang tidak menyesatkan rakyat melalui para “pelaku bangsa”, seperti kepala daerah, para pejabat, aparat penegak hukum, pemuka agama maupun para pendidik/akademisi.

Rakyat Indonesia sebenarnya sudah lelah melihat begitu banyaknya konflik yang membuat negeri ini terpecah belah. Para founding father pendiri bangsa ini pasti akan menangis melihat semua perbuatan serta sifat fanatisme yang menyebabkan terkoyaknya rasa nasionalisme yang ada. Hingga pada puncaknya, dimana bangsa ini yang menyebut dirinya telah merdeka selama 67 tahun, ternyata masih terjajah karena kebodohan sendiri. Kebodohan mau diadu domba, kebodohan mau diperalat pihak asing serta kebodohan  yang luar biasa, yaitu memperbodoh rakyat sendiri.

Sungguh miris melihat kenyataan yang ada saat ini. Begitu banyaknya pemberitaan media yang mempertontonkan kebobrokan dan perpecahan negeri ini, menimbulkan suatu pertanyaan bahwa apakah kita bangsa yang cinta perdamaian atau lebih cinta kebebasan untuk kemerdekaan pribadi – daerah, suku dan agama masing-masing?

Apakah kita perlu untuk dijajah bangsa asing lagi untuk kembali menumbuhkan dan menyebarkan rasa nasionalisme rakyat Indonesia? Tentu kita tidak menginginkan hal tersebut bukan. Kita tidak bisa membangun kultur kepribadian bangsa kita dengan sebaik-baiknya kalau tidak ada rasa kebangsaan yang sehat, lahir dari hati, diterapkan dan disebarkan ke seluruh rakyat.

Dan sekarang tibalah saatnya kita benar-benar menentukan nasib bangsa ini di dalam tangan kita masing-masing – khususnya generasi muda penerus bangsa. Haruskah kita mempertahankan sifat fanatik yang ada dan mengorbankan bangsa ini ke dalam jurang perpecahan?