oleh: Alfonsius Siringoringo
“Entah bagaimana tercapainya ‘persatuan’ itu, entah
bagaimana rupanya ‘persatuan’ itu, akan tetapi kapal yang membawa kita
keIndonesia – Merdeka itu, ialah ... ‘Kapal Persatuan’ adanya.” (Di bawah
bendera revolusi, hlm.2)
Kalimat di atas
sepertinya mengingatkan kita terhadap semboyan negeri ini, yaitu Bhineka
Tunggal Ika. Namun belakangan ini hanya dapat dikenang sebagai semboyan belaka
ketika rakyat sendiri jarang bahkan tidak pernah mengimplementasikannya dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal tersebut dapat disebabkan salah satunya
karena sifat fanatisme rakyat yang masih memiliki cara pandang terkotak-kotak.
Fanatisme dapat
dikatakan sebagai sikap atau keyakinan yang terlalu kuat terhadap suatu ajaran,
baik itu agama, politik, dan sebagainya. Fanatisme dapat berdampak positif dan
berdampak negatif. Dampak positifnya seperti, begitu loyalnya seseorang
terhadap apa yang diyakini. Sedangkan dampak negatifnya, dapat menimbulkan
perpecahan bahkan pertumpahan darah.
Namun, makna dari
dampak positif di atas semakin bergeser ke arah yang negatif. Mengapa?
Penafsiran yang salah dari tiap-tiap orang terhadap apa yang diyakininya,
kerapkali menimbulkan bencana dan perpecahan yang tidak diinginkan. Oleh sebab
itu, dibutuhkan suatu pemahaman dan cara pandang yang tidak menyesatkan rakyat
melalui para “pelaku bangsa”, seperti kepala daerah, para pejabat, aparat
penegak hukum, pemuka agama maupun para pendidik/akademisi.
Rakyat Indonesia sebenarnya
sudah lelah melihat begitu banyaknya konflik yang membuat negeri ini terpecah
belah. Para founding father pendiri
bangsa ini pasti akan menangis melihat semua perbuatan serta sifat fanatisme
yang menyebabkan terkoyaknya rasa nasionalisme yang ada. Hingga pada puncaknya,
dimana bangsa ini yang menyebut dirinya telah merdeka selama 67 tahun, ternyata
masih terjajah karena kebodohan sendiri. Kebodohan mau diadu domba, kebodohan
mau diperalat pihak asing serta kebodohan yang luar biasa, yaitu memperbodoh rakyat sendiri.
Sungguh miris melihat
kenyataan yang ada saat ini. Begitu banyaknya pemberitaan media yang mempertontonkan
kebobrokan dan perpecahan negeri ini, menimbulkan suatu pertanyaan bahwa apakah
kita bangsa yang cinta perdamaian atau lebih cinta kebebasan untuk kemerdekaan
pribadi – daerah, suku dan agama masing-masing?
Apakah kita perlu untuk
dijajah bangsa asing lagi untuk kembali menumbuhkan dan menyebarkan rasa nasionalisme
rakyat Indonesia? Tentu kita tidak menginginkan hal tersebut bukan. Kita tidak
bisa membangun kultur kepribadian bangsa kita dengan sebaik-baiknya kalau tidak
ada rasa kebangsaan yang sehat, lahir dari hati, diterapkan dan disebarkan ke
seluruh rakyat.
Dan sekarang tibalah
saatnya kita benar-benar menentukan nasib bangsa ini di dalam tangan kita
masing-masing – khususnya generasi muda penerus bangsa. Haruskah kita
mempertahankan sifat fanatik yang ada dan mengorbankan bangsa ini ke dalam
jurang perpecahan?
No comments:
Post a Comment