Selama
ini - untuk sebagian orang - ada salah pengertian mengenai penegakan hukum.
Penegakan hukum semata-mata diartikan sebagai – apa yang disebut – pro justitia yang dikerjakan polisi
(kepolisian), jaksa (kejaksaan), dan hakim (pengadilan).
Tidak
kalah penting, bahkan tidak kalah bermasalah penegakan hukum di luar proses
yustisial, seperti penegakan hukum dalam lingkungan bea cukai, keimigrasian,
administrasi perpajakan, lembaga pemasyarakatan, dan lain-lain penegakan hukum
di lingkungan administrasi negara (penegakan hukum secara administratif yang
berkaitan dengan perizinan, penjagaan lingkungan, dan lain-lain). Baru-baru ini
kita membaca, ada suatu perusahaan yang diduga melakukan manipulasi atau
penggelapan pajak sekitar Rp 1,3 triliun. Hal ini timbul karena proses
penegakan hukum perpajakan dalam prosedur administrasi tidak berjalan
sebagaimana mestinya. Demikian pula kasus Gayus Tambunan. Kasus Bank Century bermula
dari tidak berjalannya penegakan hukum secara administratif. Bahkan, bukan
penegakan hukum yang dijalankan, tetapi justru pemerintah menggeser aturannya
sendiri untuk menghindarkan Bank Century terkena penegakan hukum.
Tidak
jarang, penegakan hukum dalam makna pro
justitia adalah akibat belaka dari kegagalan penegakan hukum non pro justitia. Penegakan hukum pro justitia semata-mata proses hilir
dengan segala komplikasi karena penegakan hukum non pro justitia tidak berjalan sebagaimana mestinya. Selain kegagalan
penegakan hukum non pro justitia,
tidak kalah penting kegagalan fungsi pemerintahan dan fungsi politik. Dalam
arti sosial, fungsi pemerintahan tidak lain dari fungsi pelayanan terhadap
masyarakat. Dalam tatanan koruptif, fungsi pelayanan menjadi salah satu sumber
korupsi. Mengapa? Pertama; susunan
birokrasi yang kompleks tidak memudahkan masyarakat mendapat pelayanan,
termasuk ketika akan melaksanakan kewajiban terhadap negara (pemerintah),
seperti membayar pajak dan lain-lain. Di pihak lain, anggota masyarakat tidak
mau repot, dan mencari jalan mudah menerobos birokrasi yang kompleks dan
berbelit. Kedua; penyakit
penyalahgunaan kekuasaan untuk memperoleh keuntungan pribadi. Di sini berlaku
ungkapan: “kalau dapat dipersulit mengapa dipermudah?” Rakyat tidak berdaya.
Terpaksa tunduk pada kekuasaan yang menyiapkan perangkap menyalahgunakan
kekuasaan. Ketiga; campur tangan
politik. Tidak jarang birokrasi lumpuh karena intervensi kekuatan politik.
Heboh banggar, kasus wisma atlet, kasus Nunun, kasus pembebasan lahan di
Palembang, dan lain-lain, melibatkan unsur-unsur politik. Birokrasi bukan saja
ter-posak dalam proses politicking
tetapi menjadi objek pemerasan dengan menyalahgunakan suatu proses lembaga
politik. Semua yang disebutkan di atas merupakan proses hulu yang melimpah ke
hilir. Para penegak hukum tertentu menggunakan peluang dalam berbagai kemelut
di atas.
Berhubung
dengan catatan di atas, perlu perhatian agar persoalan penegakan hukum, dan
berbagai persoalan kenegaraan, kemasyarakatan, dan lain-lain dapat dibedah
secara integral dan mendasar. Sebagai sebuh sistem, pembedahan
sepotong-sepotong dan sporadis mungkin akan berhasil, tetapi tidak menjadi alat
yang menyembuhkan seluruh persoalan bangsa dan negara kita.
-Varia Peradilan-
Mantap sekali artikelnya. Kebetulan sedang mencari penerapan penegakan hukum non pro justisia.. Keep posting bro..
ReplyDelete