Monday, March 5, 2012

LINGKUP PENEGAKAN HUKUM



Selama ini - untuk sebagian orang - ada salah pengertian mengenai penegakan hukum. Penegakan hukum semata-mata diartikan sebagai – apa yang disebut – pro justitia yang dikerjakan polisi (kepolisian), jaksa (kejaksaan), dan hakim (pengadilan).
Tidak kalah penting, bahkan tidak kalah bermasalah penegakan hukum di luar proses yustisial, seperti penegakan hukum dalam lingkungan bea cukai, keimigrasian, administrasi perpajakan, lembaga pemasyarakatan, dan lain-lain penegakan hukum di lingkungan administrasi negara (penegakan hukum secara administratif yang berkaitan dengan perizinan, penjagaan lingkungan, dan lain-lain). Baru-baru ini kita membaca, ada suatu perusahaan yang diduga melakukan manipulasi atau penggelapan pajak sekitar Rp 1,3 triliun. Hal ini timbul karena proses penegakan hukum perpajakan dalam prosedur administrasi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Demikian pula kasus Gayus Tambunan. Kasus Bank Century bermula dari tidak berjalannya penegakan hukum secara administratif. Bahkan, bukan penegakan hukum yang dijalankan, tetapi justru pemerintah menggeser aturannya sendiri untuk menghindarkan Bank Century terkena penegakan hukum.
Tidak jarang, penegakan hukum dalam makna pro justitia adalah akibat belaka dari kegagalan penegakan hukum non pro justitia. Penegakan hukum pro justitia semata-mata proses hilir dengan segala komplikasi karena penegakan hukum non pro justitia tidak berjalan sebagaimana mestinya. Selain kegagalan penegakan hukum non pro justitia, tidak kalah penting kegagalan fungsi pemerintahan dan fungsi politik. Dalam arti sosial, fungsi pemerintahan tidak lain dari fungsi pelayanan terhadap masyarakat. Dalam tatanan koruptif, fungsi pelayanan menjadi salah satu sumber korupsi. Mengapa? Pertama; susunan birokrasi yang kompleks tidak memudahkan masyarakat mendapat pelayanan, termasuk ketika akan melaksanakan kewajiban terhadap negara (pemerintah), seperti membayar pajak dan lain-lain. Di pihak lain, anggota masyarakat tidak mau repot, dan mencari jalan mudah menerobos birokrasi yang kompleks dan berbelit. Kedua; penyakit penyalahgunaan kekuasaan untuk memperoleh keuntungan pribadi. Di sini berlaku ungkapan: “kalau dapat dipersulit mengapa dipermudah?” Rakyat tidak berdaya. Terpaksa tunduk pada kekuasaan yang menyiapkan perangkap menyalahgunakan kekuasaan. Ketiga; campur tangan politik. Tidak jarang birokrasi lumpuh karena intervensi kekuatan politik. Heboh banggar, kasus wisma atlet, kasus Nunun, kasus pembebasan lahan di Palembang, dan lain-lain, melibatkan unsur-unsur politik. Birokrasi bukan saja ter-posak dalam proses politicking tetapi menjadi objek pemerasan dengan menyalahgunakan suatu proses lembaga politik. Semua yang disebutkan di atas merupakan proses hulu yang melimpah ke hilir. Para penegak hukum tertentu menggunakan peluang dalam berbagai kemelut di atas.
Berhubung dengan catatan di atas, perlu perhatian agar persoalan penegakan hukum, dan berbagai persoalan kenegaraan, kemasyarakatan, dan lain-lain dapat dibedah secara integral dan mendasar. Sebagai sebuh sistem, pembedahan sepotong-sepotong dan sporadis mungkin akan berhasil, tetapi tidak menjadi alat yang menyembuhkan seluruh persoalan bangsa dan negara kita.

-Varia Peradilan-

1 comment:

  1. Mantap sekali artikelnya. Kebetulan sedang mencari penerapan penegakan hukum non pro justisia.. Keep posting bro..

    ReplyDelete