Thursday, February 16, 2012

PERJALANAN UPAYA MEMBERANTAS KORUPSI



posting by: Alfonsius JP Siringoringo

Korupsi bukanlah suatu bentuk pelanggaran hukum yang baru berkembang. Demikian pula upaya pemberantasannya. Sejak tahun lima puluhan, berbagai kabinet seperti Kabinet Natsir, Kabinet Ali Sastroamidjojo, Kabinet Wilopo, menaruh perhatian yang serius menghadapi persoalan korupsi. Kolonel Kawilarang sebagai Kepala Staf Kodam Siliwangi memerintahkan Komandan KMKB Jakarta (Letnan Kolonel Dachjar) untuk menangkap dan menahan seorang menteri karena diduga melakukan korupsi. Perintah ini dengan cepat dibatalkan KSAD (Mayor Jenderal Nasution) yang sedang “berbulan madu” dengan Soekarno. Sesudah itu ada beberapa menteri yang disidik karena diduga melakukan korupsi. Ada yang diadili. Ada yang tidak sampai diadili, baik karena alasan yang tidak cukup bukti atau sirna begitu saja. Pada kurun waktu tersebut ada seorang pengusaha besar diadili karena korupsi. Sesuatu agak ironis di masa itu. Mochtar Lubis (alm) sebagai Redaktur (Pimpinan Redaksi) surat kabar Indonesia Raya, yang menemukan dan menyiarkan tanda terima yang diduga sebagai suap, malahan terkena tahanan. Nasib yang sama dialami kembali oleh Mochtar Lubis di masa Orde Baru. Bahkan, dikenai tahanan karena melalui surat kabar Indonesia Raya membongkar korupsi. Selain dikenai tahanan, Indonesia Raya diberedel untuk selama-lamanya.
        Untuk selanjutnya pernah dibentuk PARAN yang diketuai oleh alm. Jenderal Nasution. Kemudian ada Komisi Empat yang diketuai alm. Mohammad Hatta. Korupsi makin terungkap di hadapan publik. Ada beberapa kemungkinan korupsi makin terungkap.
Pertama; Memang terjadi eskalasi korupsi. Bukan saja dalam jumlah yang menakjubkan, juga medan tempat korupsi serta proses korupsi terjadi dimana-mana. Tempat korupsi tidak hanya di lingkungan birokrasi, tetapi juga di badan-badan politik (seperti DPR, DPRD), organisasi politik dan nonpolitik (seperti perusahaan). Demikian pula proses politik (seperti pemilu, pemilukada), proses ekonomi (seperti proyek-proyek pemerintah). Hampir tidak ada tempat dan proses yang tidak membuka peluang korupsi dan memang terjadi korupsi.
Kedua; Keikutsertaan publik. Lembaga-lembaga publik seperti pers, LSM sangat berperan mengungkap korupsi. Peran ini dimungkinkan sebagai buah kebebasan dan keterbukaan.
Ketiga; Dibentuk lembaga khusus pemberantasa korupsi (KPK, Pengadilan Tipikor), dan badan-badan pengawas, seperti Komisi Yudisial, dan berbagai badan khusus di lingkungan pemerintah.
Keempat; Peningkatan kemampuan dan kemauan aparat penegak hukum. Selain itu, para penegak hukum lebih responsif terhadap persoalan-persoalan pemberantasan korupsi.
        Tetapi ada berpendapat, korupsi itu seperti gunung es. Yang terangkat (dan diadili) hanya puncak kecil gunung es. Bagian gunung yang berada di bawah air berukuran tidak terhingga. Sangat besar. Kalau benar, apakah sanggup penegak hukum yang ada (sebagian dihinggapi juga penyakit korupsi), sanggup merobohkan gunung korupsi yang maha, maha raksasa itu. Yang disebut puncak yang kecil sudah begitu sulit memberantasnya, apalagi bagian bawahnya. Kesanggupan memberantas korupsi sampai keakar-akarnya semata-mata melalui penegakan hukum (peradilan pidana) mungkin dapat menjadi sekedar retorika, atau pencitraan belaka, atau seperti kisah Don Quisot yang bertempur melawan kusir angin. Hasilnya tidak cukup sebagai modal mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Apakah harus berhenti? Sama sekali tidak. Harus ditingkatkan. Tetapi pemerantasan melalui peradilan tindak pidana korupsi sebagai yang terhebat. Pembenahan tatanan politik, tatanan birokrasi, tatanan ekonomi yang berpihak kepada rakyat, membangun masyarakat yang taat hukum, merupakan pekerjaan yang tidak kalah penting. Bahkan mungkin merupakan dasar hukum memberantas korupsi.


-Varia Peradilan-

No comments:

Post a Comment