posting by: Alfonsius JP Siringoringo
Korupsi
bukanlah suatu bentuk pelanggaran hukum yang baru berkembang. Demikian pula
upaya pemberantasannya. Sejak tahun lima puluhan, berbagai kabinet seperti
Kabinet Natsir, Kabinet Ali Sastroamidjojo, Kabinet Wilopo, menaruh perhatian
yang serius menghadapi persoalan korupsi. Kolonel Kawilarang sebagai Kepala
Staf Kodam Siliwangi memerintahkan Komandan KMKB Jakarta (Letnan Kolonel
Dachjar) untuk menangkap dan menahan seorang menteri karena diduga melakukan korupsi.
Perintah ini dengan cepat dibatalkan KSAD (Mayor Jenderal Nasution) yang sedang
“berbulan madu” dengan Soekarno. Sesudah itu ada beberapa menteri yang disidik
karena diduga melakukan korupsi. Ada yang diadili. Ada yang tidak sampai
diadili, baik karena alasan yang tidak cukup bukti atau sirna begitu saja. Pada
kurun waktu tersebut ada seorang pengusaha besar diadili karena korupsi.
Sesuatu agak ironis di masa itu. Mochtar Lubis (alm) sebagai Redaktur (Pimpinan
Redaksi) surat kabar Indonesia Raya, yang menemukan dan menyiarkan tanda terima
yang diduga sebagai suap, malahan terkena tahanan. Nasib yang sama dialami
kembali oleh Mochtar Lubis di masa Orde Baru. Bahkan, dikenai tahanan karena
melalui surat kabar Indonesia Raya membongkar korupsi. Selain dikenai tahanan,
Indonesia Raya diberedel untuk selama-lamanya.
Untuk selanjutnya pernah dibentuk PARAN
yang diketuai oleh alm. Jenderal Nasution. Kemudian ada Komisi Empat yang
diketuai alm. Mohammad Hatta. Korupsi makin terungkap di hadapan publik. Ada
beberapa kemungkinan korupsi makin terungkap.
Pertama; Memang terjadi eskalasi korupsi. Bukan saja dalam
jumlah yang menakjubkan, juga medan tempat korupsi serta proses korupsi terjadi
dimana-mana. Tempat korupsi tidak hanya di lingkungan birokrasi, tetapi juga di
badan-badan politik (seperti DPR, DPRD), organisasi politik dan nonpolitik
(seperti perusahaan). Demikian pula proses politik (seperti pemilu,
pemilukada), proses ekonomi (seperti proyek-proyek pemerintah). Hampir tidak
ada tempat dan proses yang tidak membuka peluang korupsi dan memang terjadi
korupsi.
Kedua;
Keikutsertaan publik. Lembaga-lembaga publik seperti pers, LSM sangat berperan
mengungkap korupsi. Peran ini dimungkinkan sebagai buah kebebasan dan
keterbukaan.
Ketiga; Dibentuk lembaga khusus pemberantasa korupsi (KPK,
Pengadilan Tipikor), dan badan-badan pengawas, seperti Komisi Yudisial, dan
berbagai badan khusus di lingkungan pemerintah.
Keempat; Peningkatan kemampuan dan kemauan aparat penegak
hukum. Selain itu, para penegak hukum lebih responsif terhadap
persoalan-persoalan pemberantasan korupsi.
Tetapi ada berpendapat,
korupsi itu seperti gunung es. Yang terangkat (dan diadili) hanya puncak kecil
gunung es. Bagian gunung yang berada di bawah air berukuran tidak terhingga.
Sangat besar. Kalau benar, apakah sanggup penegak hukum yang ada (sebagian
dihinggapi juga penyakit korupsi), sanggup merobohkan gunung korupsi yang maha,
maha raksasa itu. Yang disebut puncak yang kecil sudah begitu sulit
memberantasnya, apalagi bagian bawahnya. Kesanggupan memberantas korupsi sampai
keakar-akarnya semata-mata melalui penegakan hukum (peradilan pidana) mungkin
dapat menjadi sekedar retorika, atau pencitraan belaka, atau seperti kisah Don
Quisot yang bertempur melawan kusir angin. Hasilnya tidak cukup sebagai modal
mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Apakah harus
berhenti? Sama sekali tidak. Harus ditingkatkan. Tetapi pemerantasan melalui
peradilan tindak pidana korupsi sebagai yang terhebat. Pembenahan tatanan
politik, tatanan birokrasi, tatanan ekonomi yang berpihak kepada rakyat,
membangun masyarakat yang taat hukum, merupakan pekerjaan yang tidak kalah
penting. Bahkan mungkin merupakan dasar hukum memberantas korupsi.-Varia Peradilan-
No comments:
Post a Comment