posting by: Alfonsius JP Siringoringo
Dari
berbagai wacana yang dominan, pemberantasan korupsi sangat ditekankan pada
makna penegakan hukum, karen itu tidak heran kalau nyaring diperdengarkan
pemidanaan yang lebih berat seperti, penjatuhan hukuman mati atau kemiskinan
para terpidana korupsi.
Telah lama didalilkan, pemidanaan
ternyata bukan sarana ampuh mengurangi, menakut-nakuti apalagi meniadakan
tindak pidana. Hal ini berlaku juga untuk perbuatan korupsi. Karena itu,
pemberantasan korupsi, akan sulit berhasil secara signifikan kalau hanya
mengandalkan penegakan hukum pidana.
Secara hukum, korupsi dapat berakar di
luar hukum pidana, khususnya hukum administrasi, hukum keperdataan, dan hukum
tata negara. Beberapa kasus korupsi didalilkan sebagai hubungan keperdataan
seperti kasus-kasus korupsi perbankan. Sejumlah kasus dikaitkan dengan hukum
administrasi, seperti bleid
(kebijakan) yang bersumber dari asas kebebasan bertindak (beleidsvrijheid, Freis Ermessen). Dalam kasus Bank Century,
pemerintah mendalilkan tidak dapat dipidana karena tindakan pemerintah
dilakukan sebagai beleid. Tentu saja
tidak semua beleid kebal hukum,
penyalahgunaan wewenang, dan lain-lain. Hal-hal ini harus dibuktikan menurut
kaidah hukum administrasi, bukan hukum pidana sebagai jembatan memasuki hukum
pidana. Di bidang hukum tata negara yang memberi kewenangan yang berlebihan
kepada badan-badan ketatanegaraan dapat juga menjadi peluang Undang-undang yang
memberi wewenang kepada DPR untuk mencampuri fungsi administrasi negara seperti
penetapan peruntukan lahan, pelaksanaan anggaran, tidak jarang menimbulkan
tindak pidana korupsi yang bersumber pada kaidah hukum tata negara.
Tidak kalah penting faktor-faktor di
luar hukum. Korupsi dalam kenyataan mencakup berbagai fenomena nonhukum
(supra). Pertama; Fenomena politik.
Sistem dan praktik politik yang dijalankan menjadi penyebab atau pendorong
korupsi. Politik uang (money politic)
sangat nyata timbul karena tatanan politik atau sistem bermain dalam politik.
Kehebohan mengenai suap menyuap yang melibatkan anggota DPR, “mafia anggaran”,
tidak dapat dipisahkan dari tatanan dan tingkah laku politik.
Kedua;
Tingkah laku birokrasi. Birokrasi sebagai pusat konsentrasi keuangan negara dan
proyek-proyek negara menjadi lahan susbur korupsi dan manipulasi. Korupsi dan
manipulasi keuangan negara oleh birokrasi berjalan sejak hulu (penentuan
program) sampai ke hilir (pelaksanaan). Ketiga;
Tingkah laku sosial. Sikap masyarakat untuk “menerabas” demi suatu tujuan juga
merupakan sumber besar korupsi. Kasus Nazaruddin dan yang lainnya tidak lepas
dari tingkah laku yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.
Berbagai fenomena di luar hukum di atas
merupakan kenyataan dalam peri kehidupan kenegaraan dan masyarakat kita. Bahkan
dapat dikatakan sebagai faktor dominan yang menyebarkan korupsi. Karena itu,
sangatlah penting melakukan pembaruan menyeluruh dan mendasar terhadap fenomena
di luar hukum tersebut sebagai upaya memberantas korupsi di samping upaya
penegakan hukum yang telah dan sedang dijalankan.
-Varia Peradilan-
No comments:
Post a Comment